TITIK YANG TERPISAH
Senja yang perlahan kewajah bumi yang lelah. Gaung langit keemasan menyusut di sewla-sela ujung gulungan kapas kelabu yang diam menggantung, bertasbih dalam kebisuan angin. Riuh kepak elang mencuri rindu di ranting cemara. Ilalang dan dedaunan rumput tertunduk memuji tuhannya. Aku di sebuah gedung pencakar langit yang terbuka menganga menjadi kecil menyaksikan wajah semesta.
Dari bawah gedung ini sayup-sayup aku mendengar teriakan histeris. Selang beberapa lama kemudian pun disertai gemuruh orang-orang berhamburan sambil berteiak panik. Secara bersamaan kontan aku terjerembab mendengar itu. Ada apa dengan mereka di bawah sana? Tanyaku dalam hati.
Kupalingkan pandanganku ketepi keemasan langit yang mulai redup. Di satu titik cahaya yang terpisah, aku melihat wajah seorang teman yang murung. Matanya berkaca, sudah bibirnya kaku sekaku pusara yang binging. Kedua alisnya berkerut, seperti tak Nampak kecerian ia memandangiku, lalu ia pun perlahan redup.
Ada apa ia menemuiku dengan wajah semisal nisan itu? Tanyaku dalam hati.Aku berdiri , menjulurkan kedua tangankukelangit. Mencoba menggapai dengan kedua kaki yang menyinjik aku ingin merobek langit sedikit saja, dan aku akan menarik seseorang yang ada di baliknya, entah ia seorang nabi , malaikat , atau pun jin.Aku akan adukan kesaksianku padanya gumanku dalam hati sambil terus mencoba meraih gaung langit.
Keringatku keluar dari pori- pori kulit di sekujur tubuhku. Aku merasakan dingin. Dingin sekali. Sesekali bila terdengar kicau burung- burung yang melintas kudengar mereka bertasbih memuji penciptanya dan mereka terus berlalu, terbang sambil bertasbih satu sama lainya. Ini sebuah keajaiban bagiku. Mendengar mereka bertasbih. Padahal mereka hanyalah hewan, ddaun- daunan ,gulungan kapas raksasa yang mengantung kaku. Tapi mereka toh pada ber tasbih.
Aku tiba- tiba teringat nasehat kiyai. Kala itu aku berada di barisan paling belakang. Sedangkan itu pun aku tak sengaja ikut, lantaran aku hanya mengisi waktu kosong untuk menunggu maya si pujaan hatiku. Kiayai itu berkata “ Tuhan menurunkan Al kitabNya, di dalam ada petunjuk bagi orang-orang yang mau berfikir. “ tidaklah Allah SWT menciptakan jin dan manusia semata hanya untuk menyembahKu”. Seusai kajian, kuberanikan kan diri untuk menanyakan maksud ayat tadi kepada sang kiyai. Namun ia hanya berkata “Bersyukurlah..!”.
Angin senja menampar wajahku, bayangan kiyaipun hilang. Langit di atas kepalaku belum juga bisa kuraih. Seluruh kekuatanku sudah kukerahkan, namun sia-sia saja. Sejenak aku kembali duduk.menatap ke atas langit. Aku membayangkan diriku berada di atas sana….jauh di atas sana.lalu menatap ke bawah melihat jasadku duduk terdiam dengan tengadah kaku.”betapa kecilnya aku, kecil…semakin kecil dan mengecil…” sekecil titik hitam yang terkurung di tengah jutaan bahkan puluhan juta bangunan dan hamparan kehidupan bising dunia.”astagaaa….sebegitu kecilnya aku?”bisikku dalam hati. Sekejap kemudian ruhku jatuh kembali kejasadku, lalu diam-diam aku menangis terseduh.
Senja merambat perlahan kewajah bumi yang rentah. Gaung wajah langit berubah jadi kelam. Wajah matahari tenggelam di tepi sana. Aku berdiri mencari bekas-bekasnya.namun tak kutemui sisa cahayanya lagi.aku perlahan ke tepi bangunan, kulihat jauh ke bawah, sesosok tubuh yang persis adalah tubuhku sendiri, jelas terlihat telanjang di halaman kantor gedung pencakar langit yang kupijak ini.sosok tubuhku itu tengah dikerubuti orang-orang.
ASMAUL HUSNA X2
BalasHapusSenja yang perlahan kewajah bumi yang lelah. Gaung langit keemasan menyusut di sewla-sela ujung gulungan kapas kelabu yang diam menggantung, bertasbih dalam kebisuan angin. Riuh kepak elang mencuri rindu di ranting cemara. Ilalang dan dedaunan rumput tertunduk memuji tuhannya. Aku di sebuah gedung pencakar langit yang terbuka menganga menjadi kecil menyaksikan wajah semesta.