DE JAVU | PART 2
Langit di malam hari sesungguhhnya jauh lebih indah. Karena saya berada di daerah puncak, maka secara tidak langsung merasa lebih dekat pula dengan langit. Langit malam itu seperti sedang merayakan panen bintang, meskipun tanpa kehadiran "istri" berbentuk bulat-berwarna keperakan. Namun tetap saja langit malam untungnya tak berawan dan tak begitu terhalangi kabut, sehingga benar-benar baik untuk melakukan stargaze.
Di pukul sepuluh malam, dengan suhu yang saya terka kurang dari 10 derajat Celcius, saya menantang udara malam dengan seorang teman. Ada kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan, dan dengan "bahagia" saya menyelesaikan. Malam-malam berekreasi ke area pohon pinus, sebenarnya adalah modus utama mengekori teman. Melihat-lihat susunan pinus yang tumbuh selaras, mengingatkan pula dengan perkebunan karet di kampung halaman yang sama ditanam selarasnya. Saya terlalu banyak merindukan berbagai hal, dan memberi gantinya meskipun mengakui tak begitu setimpal. Tentang hang out malam-malam, saya tidak cukup peduli dengan tubuh yang bisa masuk angin dengan pakaian seadanya di daerah sedingin itu. Toh, hingga sekarang saya masih baik-baik saja, meski telah seharian di tempat itu, bahkan sempat berhujan-hujanan pula. Di pukul dua dini hari pun, saya dengan dua teman lain melangkah keluar sebentar dari wisma. Dan tepat di atas kepala, beberapa lapis di bawah langit nampak berkas-berkas kabut putih seakan menjadi satu kesatuan. Saya membayangkan, kalau saja ia bisa berwarna-warni, saya sudah benar-benar berada di kutub bumi, barangkali. Lagi-lagi, saya sudah tidak cukup peduli dengan kondisi kesehatan yang akan jatuh. Urusan jatuh-jatuh, saya sudah cukup mempan menahan sendirian.
Keesokannya, tidak kalah eksotis. Memang langit bukan objek menarik untuk dipandang, tetapi langit sendiri menawarkan penggantinya. Awan mendung yang berarak sesuai keinginan-Nya, menjatuhkan rerintik hujan yang makin lama makin deras. Gemercik hujan yang bertumbukan dengan seng wisma, kemudian jatuh mendarat di atas daun bebungaan, lalu bermuara menyesap ke dalam tanah, menimbulkan bunyi rileksasi tersendiri. Saya sangat menikmatinya. Aro
Gambar dari Google |
ma petrichor di Malino benar-benar khas, barangkali yang terbaik di antara yang pernah saya indrai. Di beranda lantai dua wisma, saya melewatkan beberapa menit untuk sekadar bermonolog seperti orang yang tak waras. Sampai beberapa teman menemukan saya. Aha, I'm not always alone, sometimes i shouldn't.
Not only people has changed, but also "everything" has changed. Even a place, even anything else.
Posting Komentar untuk "DE JAVU | PART 2"